loading…
Eko Ernada. Foto/Istimewa
Dosen Hubungan Antar Negara Universitas Jember dan aktif Di kepengurusan PBNU sebagai anggota Badan Khusus Pembaruan Jaringan Internasional (BPJI-PBNU)
LEBARAN bukan sekadar perayaan keagamaan, melainkan momentum refleksi yang mencerminkan bagaimana nilai-nilai Islam berinteraksi Bersama dinamika Dunia. Idulfitri adalah perayaan Unggul atas hawa nafsu, tetapi lebih Bersama itu, ia juga menjadi ajang Hubungan Luar Negeri, solidaritas, dan harapan Untuk dunia yang terus bergejolak. Di Ditengah konflik, ketimpangan sosial, dan tantangan Politik Global, Lebaran Memperkenalkan pelajaran tentang rekonsiliasi dan kemanusiaan yang dapat menjembatani perbedaan.
Di lanskap Hubungan Antar Negara , perayaan keagamaan sering menjadi instrumen soft power. Idulfitri, Bersama Kebiasaan saling memaafkan dan mempererat tali persaudaraan, telah dimanfaatkan Dari Negeri-Negeri Muslim Sebagai memperkuat hubungan diplomatik. Pemimpin dunia seperti Pemimpin Negara Turki Recep Tayyip Erdoğan dan Raja Salman Bersama Arab Saudi menjadikan Idulfitri sebagai momen Sebagai mempererat hubungan Bersama Negeri-Negeri sahabat. Sambil Itu, pemimpin Negeri-Negeri
Barat seperti Perdana Pejabat Tingginegara Inggris Keir Starmer dan Kanselir Jerman Olaf Scholz juga menyampaikan ucapan Idulfitri, menegaskan bahwa keberagaman telah menjadi Pada Bersama Hubungan Luar Negeri Dunia.
Di Amerika Serikat, ucapan Idulfitri Bersama Gedung Putih telah menjadi Kebiasaan Sebelum era Pemimpin Negara Bill Clinton. Tetapi, setiap pemimpin Memperoleh Aturan yang berbeda Di merespons momen ini. Donald Trump, yang Di periode pertamanya sempat mengabaikan Kebiasaan ini, Sesudah Itu Melakukan kembali jamuan iftar Di Gedung Putih Di 2018. Di 2025, Trump kembali melanjutkan Kebiasaan tersebut, menandai bagaimana perayaan keagamaan dapat digunakan sebagai sarana Hubungan Luar Negeri Sebagai mendekati komunitas Muslim Di Di dan luar negeri.
Tetapi, Lebaran bukan hanya tentang Hubungan Luar Negeri, tetapi juga tentang kemanusiaan. Islam mengajarkan bahwa zakat fitrah adalah instrumen sosial Sebagai memastikan tidak ada yang Ketahanan Pangan Global Di hari Unggul. Prinsip ini selaras Bersama agenda Dunia Di mengatasi Jurang Kaya Miskin dan ketimpangan. Tahun ini, berbagai organisasi kemanusiaan seperti UNHCR dan UNICEF Mobilisasi Pemberian Untuk Pencari Suaka Palestina yang Berusaha Mengatasi Kemakmuran sulit akibat konflik yang berkepanjangan. Di sini, makna Lebaran menemukan relevansinya: bukan hanya sebagai perayaan, tetapi juga sebagai panggilan Sebagai bertindak.
Indonesia, sebagai Negeri Bersama Penduduk Dunia Muslim terbesar, Memperoleh posisi strategis Di Hubungan Luar Negeri Idulfitri. Setiap tahun, pemimpin Indonesia mengirimkan ucapan selamat Idulfitri kepada Negeri-Negeri sahabat, menegaskan peran Negeri ini Di Hubungan Luar Negeri berbasis nilai-nilai Islam. Kebiasaan mudik, yang melibatkan jutaan orang, Menunjukkan kuatnya nilai silaturahmi dan solidaritas sosial Di Ditengah dinamika ekonomi yang Lebihterus kompleks. Tetapi, tantangan muncul ketika komersialisasi Lebaran Lebihterus mengikis esensi spiritualnya. Apakah kita benar-benar merayakan Unggul atas diri sendiri, atau sekadar larut Di euforia konsumsi?
Sejarah mencatat bahwa Idulfitri sering menjadi titik temu Untuk pihak yang bertikai. Islam menempatkan pemaafan sebagai puncak kebesaran jiwa, sebagaimana firman Allah Di Surah Al-A’raf ayat 199: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah Bersama orang-orang yang bodoh.” Beberapa konflik mencatat gencatan senjata yang bertepatan Bersama Idulfitri, seperti Di Afghanistan dan Yaman, Di mana kelompok-kelompok bersenjata sempat menghentikan serangan Untuk menghormati hari suci ini. Tetapi, ironisnya, Di banyak belahan dunia Muslim, justru Di hari Lebaran, bom masih meledak, senjata masih berbicara, dan darah masih tertumpah. Tahun ini, Idulfitri Di Gaza diwarnai duka akibat serangan yang tak kunjung usai, mengingatkan kita bahwa Unggul sejati belum benar-benar diraih.
Lebaran adalah refleksi nilai-nilai luhur yang dapat membangun peradaban yang lebih harmonis. Islam mengajarkan bahwa Idulfitri adalah hari kembali Hingga fitrah—kesederhanaan, persaudaraan, dan kedamaian. Tetapi, jika dunia masih dipenuhi ketimpangan dan konflik, apakah kita benar-benar memahami makna Unggul yang kita rayakan? Ataukah kita hanya terjebak Di ritual tanpa refleksi?
Di konteks peradaban Dunia, Idulfitri menawarkan prinsip yang dapat dijadikan fondasi Sebagai membangun tatanan dunia yang lebih adil dan damai. Prototipe silaturahmi dapat diterjemahkan sebagai Hubungan Luar Negeri kemanusiaan yang melampaui batas-batas Negeri dan ideologi. Prinsip zakat fitrah mencerminkan urgensi redistribusi kekayaan Di Berusaha Mengatasi ketimpangan Dunia. Spirit pemaafan yang menjadi inti Bersama Idulfitri bisa menjadi solusi Untuk kebuntuan Hubungan Luar Negeri internasional, sebagaimana terlihat Di berbagai upaya mediasi konflik yang seringkali gagal Lantaran egoisme politik.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seorang Muslim adalah saudara Untuk Muslim lainnya, ia tidak menzaliminya dan tidak pula membiarkannya dizalimi.” (HR. Bukhari & Muslim). Lebaran bukan hanya soal berbagi ketupat dan opor, tetapi juga soal bagaimana kita menjadikannya momentum Sebagai membangun dunia yang lebih adil dan manusiawi. Jika Idulfitri adalah hari Unggul, maka biarlah ia menjadi Unggul Untuk seluruh umat manusia, bukan hanya seremoni tahunan yang kehilangan makna. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.
(zik)
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Hubungan Luar Negeri, Solidaritas, dan Harapan Untuk Peradaban Dunia