loading…
Eko Ernada. Foto/Istimewa
Anggota Badan Pembaruan Jaringan Internasional – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (BPJI-PBNU)
RAMADAN datang seperti embusan angin segar yang menyapa kelelahan jiwa manusia Untuk hiruk-pikuk zaman. Untuk cahaya suci yang turun Di bulan ini, ada panggilan Sebagai kembali Di kejernihan diri, mengasah kesadaran Akansegera tugas besar peradaban: menata dunia Bersama kebajikan, ilmu, dan keadilan. Puasa bukan sekadar ibadah ritual, tetapi sebuah Laga Persahabatan spiritual yang mengajarkan ketahanan, kesabaran, dan disiplin—modal utama Untuk membangun peradaban unggul.
Untuk kaitan Bersama sejarah Islam , puasa bukanlah sekadar ibadah personal, tetapi fondasi moral yang melahirkan generasi pemikir, ilmuwan, dan pemimpin berintegritas. Jika kita menelusuri jejak emas peradaban Islam Di abad Ke-8 hingga Ke-13, kita Akansegera menemukan bahwa spiritualitas dan ilmu tidak pernah dipisahkan. Inilah era ketika dunia Islam menjadi pusat peradaban, menghamparkan cahaya Ke segala penjuru dunia Lewat ilmu pengetahuan, Karyaseni, dan filsafat.
Di masa Dinasti Abbasiyah, misalnya, Baghdad menjadi mercusuar ilmu pengetahuan. Rumah Kebijaksanaan (Baitul Hikmah) berdiri megah sebagai laboratorium intelektual, tempat para ilmuwan Bersama berbagai latar Di agama dan etnis berkumpul Sebagai menerjemahkan, Menyusun, dan menciptakan gagasan-gagasan besar. Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali adalah sedikit Bersama banyak nama yang membuktikan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan tentang ketakwaan, tetapi juga tentang keberanian berpikir dan keberpihakan Di kebenaran.
Di Pada yang sama, Di belahan dunia lain, Eropa masih tertidur Untuk abad kegelapan. Ilmu pengetahuan dan rasionalitas yang berkembang Untuk peradaban Islam Lalu menjadi jembatan Bagi kebangkitan Eropa Di era Renaisans. Universitas-universitas besar Di dunia Barat, seperti Di Paris dan Oxford, banyak menyerap gagasan-gagasan ilmuwan Muslim. Fakta ini Menunjukkan bahwa kejayaan Islam bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi bukti bahwa peradaban yang maju lahir Bersama penghormatan Pada ilmu dan kebajikan.
Akan Tetapi, sejarah juga mencatat bahwa kejayaan ini tidak berlangsung selamanya. Politik Global Islam Merasakan pasang surut seiring Bersama munculnya berbagai tantangan internal dan eksternal. Di abad Ke-13, dunia Islam Berjuang Bersama invasi Mongol yang menghancurkan Baghdad, diikuti Dari kolonialisasi Eropa yang memperlemah otonomi politik dan ekonomi Bangsa-Bangsa Muslim. Fragmentasi kekuatan dunia Islam Lebih terasa ketika Bangsa-Bangsa Muslim lebih banyak terlibat Untuk konflik internal dibandingkan membangun sinergi dan Pembaharuan.
Lalu, apakah kejayaan itu lahir secara tiba-tiba? Tidak. Ia lahir Bersama Kebiasaan Global disiplin intelektual dan etos kerja yang tinggi, yang salah satu pilar utamanya adalah kesadaran spiritual yang diasah Lewat ibadah, termasuk puasa Ramadan. Puasa melatih manusia Sebagai mengendalikan nafsu, menajamkan kepekaan sosial, dan membangun solidaritas. Nilai-nilai ini menjadi energi kolektif yang menopang lahirnya peradaban besar.
Untuk konteks hari ini, dunia Islam tampaknya masih tertinggal Untuk banyak aspek pembangunan. Politik Global Islam Pada ini didominasi Dari ketegangan Di Timur Ditengah, Jurang Kaya Miskin Ditengah Bangsa-Bangsa Muslim, serta kurangnya koordinasi Untuk Berjuang Bersama tantangan Internasional seperti Pemanasan Global dan transformasi digital. Jika kita ingin mengembalikan kejayaan peradaban, maka semangat puasa harus diterjemahkan Untuk tindakan nyata. Kesabaran yang ditempa Untuk Ramadan harus menjelma Untuk kesungguhan belajar dan bekerja, disiplin spiritual harus melahirkan etika publik yang bersih Bersama Kejahatan Keuangan, dan solidaritas sosial harus menguatkan komitmen Pada keadilan dan Keadaan bersama. Indonesia, sebagai Bangsa Bersama Penduduk Dunia Muslim terbesar Di dunia, seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana nilai-nilai
Ramadan diwujudkan Untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, kita masih berhadapan Bersama berbagai tantangan seperti ketimpangan sosial, lemahnya Kebiasaan Global literasi, serta Kejahatan Keuangan yang Menjadi Wabah. Jika ingin membangun peradaban yang maju, kita harus memulai Bersama diri sendiri Bersama menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, kejujuran, dan kerja keras sebagaimana yang diajarkan Untuk puasa.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Menyalakan Kembali Obor Peradaban yang Redup